Oh Jelutung !


(Kisah nyata ini terinspirasi dari cerita orangtuaku)

Di tepi jalan disebuah pedesaan Kabupaten Indragiri Hilir. Ada sebuah rumah yang sudah cukup tua, yang berdindingkan papan, beratapkan atap daun. Jika diperhatikan sekilas dinding rumah itu warna catnya tidak tentu warnanya lagi karena saking kusamnya dan halaman yang sangat sangat kotor, menandakan bahwa yang mendiaminya orang miskin juga. Keadaan di dalam rumah itu sangat sederhana. Dipertengahan kamar depan terletak sebuah peti besar, rupanya peti besar tersebut sebagai pengganti meja belajar. Dekat jendela, pada dinding sebelah depan lagi ada sebuah meja yang kakinya  tinggal tiga karena sudah lapuk kemudian patah. Meja itu kemudian dirapatkan kedinding agar tidak jatuh karena meja itu dijadikan untuk meja makan keluarga. Selanjutnya memanjang dinding yang sebelah lagi, terletak beberapa bantal tidur, di dalam rumah tersebut tidak ada satupun kasur melainkan hanya ada beberapa bantal saja, tentu semua orang yang ada di dalam rumah tersebut tidurnya tidak menggunakan kasur melaikan hanya beralaskan kain tipis yang terletak disudut kamar tua tersebut.

Apabila malam telah tiba semua tidur berderet disudut kamar yang begitu kecil dan sempit sekali. Selain itu bunyi suara angsa di bawah rumah, yang di mana suaranya itu begitu keras  sehingga selalu terdengar oleh telinga disaat hendak beristirahat dimalam hari.  Tempat tinggal  anggsa itu di bawah kolong rumah. Bangunan rumah tersebut dibangun dengan tongkat yang tinggi sehingga membuat angsa suka tidur dibawahnya karena tempat itu begitu sejuk  saat dimalam hari. Suara angsa seketika begitu keras sekali membuat siapa pun yang tidur saat itu terbangun dalam tidur senyenyak apapun seseorang tidur pasti akan tetap bangun juga karena angsa tersebut, namun saat itu mereka tidak merasa terganggu akan suara angsa tersebut seperti peribahasa alah biasa karena terbiasa.

Suatu hari ketika matahari hendak muncul, hawa panas bertukar menjadi agak sejuk, dan angin lemah lembut bertiup sepoi-sepoi. Pohon kayu jati yang besar-besar dan tinggi kanan kiri menggerakan ranting dan daun-daunnya. Udara saat itu sedap dan nyaman rasanya. Orang disekitar rumah itu beristirahat di depan rumahnya. Ada yang duduk memotong pinang, ada yang bermain dengan anaknya, ada pula yang hanya memperhatikan orang lalu lintas di jalan besar, masing-masing dengan kesenangannya.

Di muka rumah tersebut di atas, duduklah seorang anak perempuan. Wajahnya muram saja, seperti banyak masalah. Sebut saja namanya Lia. Lia ini merupakan seorang anak dari keluarga yang tidak mampu, yang memiliki ayah dan ibu serta dua orang adik. Namun ketidak mampuan seorang anak kecil ini tidak membuat dia berputus asa untuk mengapai cita-citanya seperti pribahasa ada batang cendawan tumbuh artinya tak pernah berputus asa untuk mencapai cita-cita, karena ada batang cendawan hidup artinya di mana manusia bermukim berada, pasti disitu ada rezekinya.

Saat ini Lia duduk dibangku sekolah dasar tepatnya di kelas empat. Nama sekolahnya SDN 003 Sungai Salak.   Setiap pagi dia berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Jarak tempuh rumahnya dengan sekolah begitu jauh, bahkan berkilo-kilometer, namun tidak ada alasan baginya untuk mengeluh karena dalam kehidupan ini berbagai macam masalah kita jumpai baik suka, maupun duka, sekalipun demikian kita harus sabar dalam menhadapinya seperti pribahasa ada juara kalah menang, itulah pegangan hidup Lia saat itu. Nasib seseorang selamanya tidak  selalu tetap, akan tetapi silih berganti (suka dan duka dalam hidup ini pasti dirasakan) air ada pasang surutnya.

Suatu hari ketika Lia ingin pergi ke sekolah saat itu cuaca sangat tidak mendukung. Hujan begitu derasanya turun membasahi bumi, suara gemuruh dilangit pun menyambut hujan  yang turun yang berbegas menyerbu bumi. Suara rintik-rintik hujan yang nyaring menghantam atap rumah saat itu bagaikan hujan batu. Seragam sekolah saat itu masih dibebaskan karena pendidikan saat itu sangatlah rendah, waktu itu dia mengenakan baju putih abu-abu padahal Lia baru duduk dibangku sekolah dasar karena tidak memiliki uang untuk membeli seragam baru. Seragam yang dia kenakan hanyalah pemberian dari orang lain yang sudah tidak terpakai lagi.

Hujan yang begitu deras membuat Lia sedikit terlambat menuju ke sekolah, pada saat itu Lia yang sudah berpakaian rapi untuk berangkat kesekolah, namun dia terpaksa membuka  bajunya mengganti dengan pakaian biasa yang dia biasa kenakan didalam rumah setiap hari, agar bajunya tidak basah apabila sampai ke sekolah. Lia berpikir sejenak bagaimana cara dia bisa sampai ke sekolah tidak terlalu  basah sekali, pada saat itu Lia tidak memiliki satu pun payung dirumahnya  itu.

“Yaa  Allah…… bagaimana ini aku binggung ya Allah.
Seandainya saja aku memiliki payung mungkin aku sudah lama  sampai kesekolah” 
(Lia merasa berkecil hati).

Seketika tersentak hati Lia saat itu karena terlalu binggung bagaimana cara dia bisa pergi ke sekolah. Sempat terdiam murung melihat rintik-rintik hujan turun yang begitu deras sekali. Didalam lamunanya dia terfikir didepan rumahnya ada sebatang pohon pisang yang subur, lalu dia pergi ke belakang mengambil pisau dan memotong pelepah daun  pisang yang berukuran besar. Sehelai pelepah pisang yang muda tersebut yang akan dia jadikan sebagai pelindung tubuhnya saat diperjalanan, agar dia dapat ke  sekolah meskipun tidak memiliki payung yang asli karena bagi Lia itu hanyalah hujan panas permainan hari, susah senang permainan hidup yang di mana arti dari pribahasa tersebut telah biasa bahwa kehidupan manusia ada kalanya susah, ada kalanya senang, karena kunci hidup bahagia dengan selalu bersyukur atas apa yang Allah takdirkan untukmu. Didalam perjalanan menuju ke sekolah Lia hanya bisa terdiam menyusuri jalan yang begitu jauh sambil  berdoa dalam hati. 

“Ya…. Allah….. semoga usahaku dalam menuntut ilmu  dipermudah. Ya … Allah aku percaya saat aku melibatkan engkau dalam impianku, aku percaya  tidak ada yang tidak mungkin  untuk diraih ” (Lia berkata dalam hati sambil tersenyum).

 Berkilo-kilo meter jarak tempuh Lia menuju ke sekolah akhirnya sampai juga walaupun sedikit terlambat. Sesampainya di sekolah dia langsung pergi ke kamar mandi mengganti pakaiannya dengan seragamnya yang dia bawa didalam kantung plastik yang dia jadikan sebagai pengganti tas. kantung pelastik bagi Lia sangat berharga karena dengan adanya katong pelastik itulah dia dapat membawa buku-buku pelajarannya ke sekolah dengan mudah walaupun tidak memiliki tas seperti siswa lainnya.  

“Ya… Allah syukur saja aku mengganti seragam sekolahku tadi dirumah, kalo tidak pasti aku sudah basah kuyup” (sembari Lia bersyukur kepada Allah didalam hati).

Setelah mengganti pakaian Lia langsung masuk ke dalam kelas mengikuti mata pelajaranyang sedang berlangsung. Betapa bahagianya Lia dapat ke sekolah saat itu, karena baginya berjalan sampai kebatas, berlayar sampai kepulau  yang artinya kita  sebagai manusia  harus berusaha secara sungguh-sungguh untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Pendidikan yang paling dia utamakan walaupun banyak rintangan yang dihadapi dalam menuju suatu kesuksesan yang hakiki seperti pribahasa hidup yang di mana  biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu yang artinya biarpun banyak rintangan dalam usaha kita, kita tidak boleh putus asa, jadikan pegangan hidup untuk selalu berusaha dalam keadaan sesusah apapun itu.

Sepulang sekolah Lia hanya bisa memotivasi dirinya agarselalu tegar dalam hal apapun. Baginya detik demi detik waktu telah berlalu seolah  waktu seakan cepat  sekali berlalu. Ketika dia melakukan suatu usaha untuk bisa mendekati cita-cita, dia merasa diwaktu yang bersamaan pula cita-citaku juga  sedang mendekatiku, bahkan dia pun merasa alam  semesta pun ikut  membantu bekerja saat itu, Lia sangat senang sekali karena dia tidak merasa kesepian sesungguhnya  Allah senantiasa menemaninya sehingga semua usaha yang dia lakukan tersa mudah. Didalam hidup Lia tiada kata menyerah, teruslah berusaha dan jangan lupa berdoa kepada yang Mahakuasa agar semua usaha kita dalam meraih suatu impian dengan mudah  untuk kita capai, karena kita sebagai manusia ciptaan Allah harus menggunakan  waktu dengan bijaksana dan selamanya menyadari bahwa waktu itu selalu siap untuk berbuat benar waktu yang jadi pengobatnya.                                                                    
Sesungguhnya hidup haruslah terus berlanjut tidak peduli seberapa  menyakitkan atau  membahagiakan, biarlah waktu yang jadi pengobatnya. bahkan sekalipun kita hidup didalam sebuah pedesaan yang terpencil yang serba kekurangan, namun bagi Lia dia tidak patah semangat dalam berusaha melakukan yang terbaik karena semuanya dia lakukan demi orang tua dan untuk pendidikannya juga. Bagi Lia waktu itu adalah lingkaran nasib tanpa henti. Siang sampai malam, pagi hingga petang, sepanjang tahun tidak pernah rehat, karena dalam kesempatan putaran nasibnya selalu terjadi tiga kemungkinan yakni parallel, bergerak dan serentak.

Setiap pulang sekolah Lia selalu pergi ke kebun membersihkan kebun milik orang dengan begitu dia mendapat upah dari hasil kerjanya. Selain itu dia juga banyak menanam berbagai sayuran seperti kacang panjang, labu, gambas dan masih banyak lagi. Apabila sayur-sayurnya berbuah banyak Lia akan memanennya sendiri, lalu dia bawa ke pasar untuk dijual,  karena saat itu kondisi keluarganya bagaikan berendam se sayak air,  berpaut sejengkal tali yang di mana saat itu penghidupan yang sagat susah (serba kekurangan) sehingga harus selalu berusaha bekerja mencari uang untuk menghidupi keluarganya. Setelah dia terjual sayur-sayuran yang dia bawa dari kebunnya Lia bergegas pulang kerumah untuk beristirahat.

Keesokan paginya Lia dengan terburu-buru bagun karena takut terlambat ke sekolah, dia bergegas mandi selesai mandi memakai pakaian dan bersolek selayaknya anak sekolah dasar menggunakan bedak tabur yang khas bayi. Wajahnya yang anggun nan indah dipandang oleh mata, senyumnya yang indah memancarkan kebahagiaan namun dibalik itu, terselip kesedihan yang terkias didalam bola matanya yang berkaca-kaca seperti ada sebuah harapan yang ingin dia gapai, namun sepertinya dia tidak mampu ungkapkan kepada siapa pun. Bagi Lia dia adalah sosok wanita yang tegar dalam suatu maslah karena dia yakin Allahlah yang menentukan jalan takdirku dia hanya bisa berusaha sekuat mungkin namun Allahlah skenario yang paling indah. Sesampainya dia ke sekolah Lia mendengar pengumuman bahwasanya ada acara jalan-jalan ke Padang, Lia tersentak tersenyum mendengar berita tersebut.

“Ya… Allah liburan jauh sekali, rasanya aku ingin pergi!” (berkata-kata dalam hati).

 Saat itu proses pembelajaran tidak berlangsung lama karena para guru sedang menagadakan rapat untuk  study toor ke Padang. Sehingga para siswa diizinkan untuk pulang. Seketika Lia  lari bergegas untuk pulang kerumah karena dia ingin melihat tabungannya selama ini selama bekerja yang dia selalu sisihkan dari hari hasil kerja kerasnya. Ternyata uangnya  cukup untuk berangkat dan hanya tersisa sedikit uang. Didalam perjalanan dia sangat senang sekali karena  akhirnya dia bisa jalan-jalan ke Padang bersama teman-temannya. Sesampainya dia di sana dia melihat orang yang berdagang, Lia tertuju pandnagannya kepedagang yang berjualan kaus kaki, lalu lia bertanya.

“Ih… cantik sekali kaus kakinya ada pitanya! 
 (sambil tersenyummelihat kaus kaki tersebut).
“Pak, ini berapa harga kaus kakinya?”.
“Oh, yang itu hanya tuhuh ribu rupah nak!”.
“Oh… boleh deh Pak saya ingin yang ini saja”.
“Iya… nak, ini kaosnya”.
“terima kasih pak” (tersenyum kepada bapak yang menjual kaus kaki).

 Setelah Lia membeli kaus kaki itu dia bergegas langsung ketenda karena dia ingin meletakkan kaus kakinya itu didalam  tasnya. Dan waktupun tidak terasa berlalu malampun seakan cepat sekali berlalu. Didalam keheningan malam Lia selalu memikirkan ibunya dirumah dengan Ayahnya. Suasana yang begitu mendukung lama-kelamaan  dia pun terhanyut dalam suasana yang begitu hening dan sejuk sehingga membuat dia terlelap.

Keesokan paginya Lia dan teman-temannya berkemas untuk pulang, namun malangnya kaus kakinya yang dia beli siang itu tidak ada lagi didalam tasnya. Betapa sedih hatinya tersentak melihat  kaus kaki kesukaannya telah hilang. Namun disaat yang bersamaan ada yang memakai kaus kaki yang sama seperti miliknya yang siang itu dia beli.

“Heii Linda, maaf sebelumnya aku mau Tanya boleh?”.
“Oh…. boleh kok Lia silakan”.
“Begini Linda dimanakah kamu beli kaus kaki yang sekarang ini kamu pakai?”.
“Oh… ini sudah lama aku belinya Lia, memang ada apa?”.
“Oh… seperti itu, tidak kaus kaki aku hilang padahal baru siang kemarin aku belinya 
  dan paginya   sudah hilang!”(merasa kesal dalam hati).
“Ah……! Perasaanmu saja itu!”.
“Hm… ya sudahlah kalo seperti itu” (merasa sedih dan berkecil hati).
            
Setelah Lia meninggalkan Linda ternyata Linda  tertawa terbahak-bahak, sebenarnya kaus  kaki yang dia  kenakan itu memang  punya Lia dia merasa iri  dengan Lia, karena menjadi siswa yang pandai dan cantik  sekali sehingga laki-laki banyak menyukai Lia di sekolahnya. Didalam kehidupan ini jikalau iman tanpa ilmu bagaikan lentera ditangan  bayi namun ilmu tanpa iman, bagaikan lentera di tangan pencuri. Seharusnya kita  lebih baik fokus pada usaha sendiri untuk meraih sukses daripada merasa iri dengan prestasi teman. Lia kemudian masuk kedalam bus untuk pulang kerumah dalam keadaan sedih, dia sangat yakin bahwa kaus kaki itu adalah miliknya namun apalah daya Lia hanya bisa ikhlas.

Waktu terasa sangat cepat berlalu detik demi detik terasa tergiang dalam ingatan bahwa  waktu tidak akan pernah berhenti sedetikpun. Tidak terasa Lia  pun naik kekelas enam. Lia berkeinginan ingin melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi lagi yakni ingin melanjutkan ke Madrasah ibtidaiah, Lia berkeinginan untuk memperdalam ilmu agamanya. Namun apalah daya dikarenakan biaya urungkan niatnya tersebut.

Setiap hari ke sekolah Lia tidak pernah diberikan uang jajan, sehingga di sekolah selalu kelaparan, untuk menahan rasa lapar. Cara menahan laparnya itu dia pergi ke perpustakaan untuk membaca buku-buku diperpustakaan, namun apalah daya perut tidak bisa dibohongi sehingga terdengar gemuruh perutnya yang sangat lapar, karena dia tidak mampu membeli makan. Keadaan yang begitu sulit memaksanya untuk tetap tegar dan kuat dalam menjalani hidup.  Bagi Lia sendiri  tidak ada gunanya mengeluh karena dengan mengeluh itu tidak akan pernah bisa  memperbaiki keaadaan, bersemangatlah dalam menjalani hidupmu dengan ikhlas dan kesabaran.

 Lia adalah sosok orang yang sangat sederhana sekali karena motivasi hidupnya untuk menuntut ilmu. Selama 6 tahun itu pula dia tidak pernah membeli sepatu yang bagus seperti siswa lainnya, seorang anak pasti akan bahagia jika mendapatkan sepatu setiap tahun berganti-ganti bahkan dalam hitungan perminggu bisa saja temannya di kelas membeli sepatu dengan banyak. Namun apalah daya Lia hanya bisa melihat sepatu milik temannya itu dan berharap dia akan dapat membeli sepatu seindah itu. “Ya... Allah seandainya saja aku bisa membeli sepatu baru, mirip seperti temanku itu ya Allah…”(berharap dalam hati). “Ya ampun ! apa yang sudah aku keluhkan tadi, maafkan aku tuhan aku tidak sengaja mengeluh” (seketika dia merasa sedih akan sifatnya tadi).
 
Lia hanya memiliki satu sepatu kesayangannya yang selalu  dia pakai ke sekolah karena sepatu itu pemberian dari  ibunya saat masuk sekolah sengaja dibelikan ukuran besar agar bisa dikenakan sampai tamat, sebaik mungkin dia menjaga sepatu kesayangannya itu karena  dengan adanya sepatu itu dia dapat bersekolah, walaupun sepatu itu berwana putih yang sudah pudar dan  alas kakinya pun sudah hancur  tetapi dia menutup alas kakinya itu dengan  kantung pelastik dan kotak, agar saat hujan turun dia tidak terlalu khawatir akan air yang dilewati namun terkadang ada sedikit air yang masuk kedalam sepatunya itu, ya wajar saja sudah bolong pasti akan  basah juga akhirnya. Sepatu yang telah menemaninya selama ini menuju ke sekolah adalah bukti nyata dia bisa bersekolah tanpa harus mempunyai sepatu yang bagus, karena kaya bukan diukur  dari banyaknya harta namun kaya adalah hati yang  selalu merasa cukup, akan semua yang Allah telah berikan kepada kita selama hidup d idunia ini.  Sepatu itu  Lia beri nama sepatu jelutung  karena sepatu jelutung yang begitu kumuh dan tidak layak pakai namun sepatu itulah  yang memberikan banyak pelajaran hidup semasa  dia duduk  dibangku pendidikan,  walaupun dia hanya bisa menyelesaikan pendidikan  ditingkat dasar saja, karena tidak memiliki biaya untuk melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi sesuai dengan harapan dan  cita-citanya waktu  kecil itu. Yang terpenting bagi  Lia adalah kebagaiaan orangtuanya. Baginya orangtuanya itu  layaknya seperti  pelita sebagai penenrang  hidup. Ibarat cahaya lilin yang selalu setia  menerangi setiap  sudut jalan,  dan  sebagai  semangat yang  menjadi motivasi untuk terus melangkah maju.  Menurut Lia pemandangan  yang paling indah  di bawah bentangan  langit berbintang adalah  melihat seorang Ibu dan Ayah “bahagia”. Keberkahan di dunia ini dengan menghormati  dan menyayangi orang tua, carilah  kebagaiaan  dunia dan akhirat dengan cara berbakti  sepenuhnya kepada  kedua  orang tua.

                       (Ilustrasi Sepatu Jelutung)

Belajar dari kesederhanaan  sehingga dia mampu  bangkit dan kuat untuk menjalani hidup walaupun hidup serba kekurangan, karena  ada pepatah bijak  mengatakan bahwa “kesederhanaan ada karena  memang hidup itu sederhana, kitalah yang terkadang  membuatnya rumit”. Sejatinya dengan  kesederhanaan hidup kita  akan  mendapatkan kebahagiaan yang lain selain kemewahan. Dengan hidup sederhana kita malah akan menghargai dan mensyukuri hal-hal kecil disekitar  kita yang sudah kita miliki.  Dengan hidup sederhana,  berapa pun harta yang kita miliki  akan mendatangkan  rasa cukup dalam hati kita,  karena kalau kita mau sadari bahwa kemewahan itu hanya memberikan hati kita kenyamanan sesaat, sedangkan kesederhanaan memberikan  hati  kita kenyamanan yang abadi. 

Bukankah kita semua  ingin menjadi pribadi yang istimewa?  Ya kalau begitu  janganlah mengharapkan  suatu keajaiban tetapi jadilah  keajaiban itu sendiri, karena  semua itu kita bisa dimulai dari kesederhanaan. Orang disebut  hebat adalah yang telah menjadi besar tetapi tetap  sederhana, menjadi besar tetapi tetap aktif dan produktif. Keserhanaan  yang  paling sederhana adalah senyum ikhlas dan bersyukur, jadikan pegangan hidup agar hidup bahagia dan tenteram.

                                                                             "Selesai"
_____________________________________________
Jangan lupa follow
Instagram ⤵️
@widya_fitrii19

YouTube ⤵️
Widya Fitri Official 



Komentar

  1. Sangat memotivasi min, lanjutkan ❤️

    BalasHapus
  2. Terimakasih banyak sudah mampir dan membaca, semoga terhibur :)

    BalasHapus
  3. Terimakasih Wen sudah mampir kesitus ini :)

    BalasHapus
  4. MasyaAllah sangat menginspirasi ustadzah Widya, sukses selalu yaa, aamiin

    BalasHapus
  5. Selalu semangat menghasilkan karya-karya indahnya melalui sebuah tulisan, next karya selanjutnya dinantikan ❤️💐

    BalasHapus
  6. Terima kasih semuanya, aamiin yaa Allah ❤️

    BalasHapus

Posting Komentar

Salam literasi :)

Postingan Populer